Kamis, 12 Desember 2013

MARCO KARTODIKROMO alias MAS MARCO

MARCO KARTODIKROMO alias MAS MARCO

Marco Kartodikromo atau Mas Marco, kelahiran Cepu, Blora, 1890, dan meninggal dalam pembuangan di Boven Digoel, Papua, 18 Maret 1935. Dia wartawan sekaligus aktivis kebangkitan nasional pada masanya. Aktivitas dalam gerakan membuat dia ditangkap dan dipenjara beberapa kali. Dia pernah menjabat sekretaris Sarekat Islam Solo. Mas Marco juga pendiri organisasi wartawan Inlandsche Journalisten Bond tahun 1914. Namun organisasi itu hanya bertahan setahun karena bubar setelah dia dipenjara.
Berbeda dari kebanyakan tokoh pada zaman itu yang berdarah priayi, bapak Marco cuma priyayi rendahan, yang sehari-hari mencari nafkah dengan bertani. Pada awal 1905 Marco bekerja sebagai juru tulis Dinas Kehutanan. Namun tak lama. Dia kemudian pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis kantor pemerintah. Di Semarang, dia belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda. Pada 1911, setelah pandai berbahasa Belanda, dia meninggalkan Semarang dan menuju Bandung.
Di Bandung, Marco bergabung dengan penerbitan surat kabar Medan Prijaji yang dipimpin Tirto Adhi Soerjo. Saat itu, Medan Prijaji sedang berada di puncak kegemilangan. Marco pun berguru kepada Tirto Adhi Soerjo. Dia tidak hanya mempelajari ilmu jurnalistik, tetapi juga soal organisasi modern. Pada 1913, media pribumi dengan oplah besar itu bangkrut, dan Tirto Adhi Soerjo dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Maluku. Permasalahan itu membuat semangat Mas Marco menurun.
Pada umur 24 tahun, Marco pindah ke Surakarta dan mendirikan surat kabar Doenia Bergerak. Marco menjadi penulis dan redaktur surat kabar Doenia Bergerak. Dia tak segan-segan mengkritik tatanan kolonial secara terbuka. Karena tulisan-tulisan kritis dan surat pembaca yang dimuat dalam surat kabar itulah, pada awal 1915 Marco dituntut di pengadilan. Penguasa Hindia Belanda menuduh Marco dengan kasus delik pers. Marco kemudian dipenjara di Semarang.
Keluar dari penjara Semarang, Marco bergabung dengan surat kabar Pantjaran Warta yang dipimpin R. Goenawan, mantan redaktur Medan Prijaji. Setahun di Pantjaran Warta, Marco kembali dipenjara akibat menyebarkan selebaran yang menebar kebencian kepada pemerintah Hindia Belanda.
Keluar dari penjara di Weletvreden, Marco bergabung dengan Semaoen dan Darsono di Sinar Djawa, koran milik Sarekat Islam Semarang yang berhaluan sosialis. Di koran itu, Marco menulis bermacam-macam artikel, termasuk menerbitkan secara berseri roman Matahariah dan Student Hidjo.
Beberapa tahun kemudian, Marco bergabung dengan Soerjopranoto di Sarekat Islam Yogyakarta. Bersama Soerjopranoto, Marco menerbitkan Majalah Pemimpin. Namun majalah itu belum sempat beredar, karena pemerintah Hindia Belanda telah membredelnya. Setelah pembredelan itu, Marco mengundurkan diri dari pergerakan.
Dia baru terlibat kembali secara aktif dalam pergerakan pada 1924. Di tempat tinggalnya di Kalicacing, Salatiga, Marco menerbitkan Jurnal Hidoep. Dalam jurnal itulah Marco menerbitkan secara berseri Babad Tanah Djawi, sejarah Jawa sejak masa pra-Hindu hingga perlawanan Untung Surapati. Namun dia tidak menyelesaikan tulisan tersebut. Marco kemudian pindah ke Surakarta, bergabung dengan Sarekat Rakyat yang ditinggal sang pemimpin, Haji Misbach. Organisasi itu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tahun 1926 berniat memberontak.
Pada pemberontakan kaum komunis yang gagal tahun 1927, Marco ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel. Dia meninggal di pembuangan pada 1935. Marco Kartodikromo adalah paman pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.


SALAM P.O.L.O.S
( Peace One Love One Soul )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar